Electronic Resource
Shalat Orang Sakit
Pada buku ini menjelaskan tentang shalat orang sakit . Ada tiga hal yang dibahas
A. Ketentuan Dalam Masalah Keringanan
Bahwa para prinsipnya orang sakit tidak dicabut kewajiban shalatnya. Namun mendapatkan beberapa
keringanan. Untuk itu dalam menetapkan bentukbentuk keringanan, ada beberapa prinsip yang harus
diperhatikan, antara lain :
1. Sakit Tidak Menggugurkan Kewajiban Shalat Ini adalah prinsip yang paling dasar dan sangat
penting.
2. Lakukan Yang Bisa Dilakukan Seseorang yang sakit tetap diwajibkan untuk mendirikan shalat
dengan melakukan gerakan dan posisi-posisi shalat sebisa dan semampu yang dia lakukan,
meski pun tidak sampai sempurna
3. Keringanan Tidak Boleh Mengarang Sendiri Tidak mentang-mentang mendapatkan keringanan,
lantas kita boleh mengarang-ngarang sendiri bentuk keringanan seenak selera kita. Tetap saja
ada banyak keterbatasan syariah yang mengiringi. Misalnya, orang sakit tetap wajib shalat
sejumlah rakaat yang telah ditetapkan, dan tidak boleh mengurangi jumlah rakaat. Yang tadinya
shalat Dzhuhur empat rakaat, tidak boleh tiba-tiba dikurangi jadi tinggal 1 rakaat, dengan alasan
lagi sakit. Begitu juga yang seharusnya shalat itu 5 waktu dalam sehari semalam, tidak boleh kita
ubah jadi cuma 3 waktu saja.
B. Bentuk Keringan Yang Syar'i
Berikut ini adalah beberapa bentuk keringanan yang diberikan kepada orang sakit secara syar'i :
1. Keringanan Dalam Bersuci Dalam perkara bersuci untuk mengangkat hadats, apabila tidak
dimungkinkan bagi orang yang sedang sakit untuk menggunakan air, baik untuk berwudhu' atau
mandi janabah, maka para ulama menetapkan kebolehan bertayammum. Tidak boleh terkena air
itu karena ditakutnya akan semakin parah sakitnya atau terlambat kesembuhannya oleh sebab air
itu.
2. Keringanan Tidak Bisa Berdiri Berdiri merupakan rukun di dalam shalat fardhu, dimana seorang
bila meninggalkan salah satu dari rukun shalat, maka hukum shalatnya itu tidak sah. Namun bila
seseorang karena penyakit yang dideritanya, dia tidak mampu berdiri tegak, dibolehkan shalat
dengan posisi duduk
3. Keringanan Tidak Bisa Ruku Sebagaimana kita ketahui bahwa ruku’ di dalam shalat adalah rukun
yang bila tidak dikerjakan, maka shalat itu tidak sah hukumnya. Dan alasan sakit membolehkan
seseorang tidak melakukan gerakan ruku’ yang seharusnya. Ruku’nya hanya dengan
mengangguk saja. b. Al-Hanafiyah Namun menurut pendapat Al-Hanafiyah, orang yang tidak
mampu melakukan gerakan ruku’, secara otomatis tidak lagi wajib melakukan posisi berdiri.
Sehingga dia shalat sambil duduk saja, rukunnya dengan cara mengangguk dalam posisi duduk,
bukan dari posisi berdiri.
4. Keringanan Tidak Bisa Sujud Posisi sujud adalah bagian dari rukun shalat yang apabila
ditinggalkan akan membuat shalat itu menjadi tidak sah. Namun orang yang sakit dan tidak
mampu untuk melakukan gerakan sujud, tentu tidak bisa dipaksa. Dia mendapatkan keringanan
dari Allah SWT untuk sebisa-bisanya melakukan sujud, meski tidak sempurna.
5. Keringanan Tidak Wajib Shalat Berjamaah Meskipun jumhur ulama tidak mewajibkan shalat
berjamaah, namun mazhab Al-Hanabilah berpendapat bahwa shalat berjamaah di masjid
bersama imam hukumnya fardhu 'ain.
6. Keringanan Tidak Wajib Shalat Jumat Seluruh ulama sepakat bahwa orang sakit termasuk
mereka yang gugur kewajibannya untuk mengerjakan shalat Jumat. Namun demikian, dia tetap
diwajibkan mengerjakan shalat Dzhuhur sendirian
C. Ketentuan Orang Sakit Dalam Shalat
1. Tetap Wajib Shalat Menghadap Kiblat Seseorang yang sedang menderita sakit tertentu sehingga
tidak mampu berdiri atau duduk, maka dia tetap wajib shalat dengan menghadap kiblat. Namun
caranya memang agak berbeda-beda di antara para ulama. Sebagian mengatakan bahwa
caranya dengan berbaring miring, posisi bagian kanan tubuhnya ada di bawah dan bagian kiri
tubuhnya di atas. Mirip dengan posisi mayat yang masuk ke liang lahat. Namun sebagian ulama
yang lain mengatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menghadap kiblat adalah kaki, bukan
dada. Asalkan kakinya sudah menghadap kiblat, maka dianggap posisi badannya sudah
memenuhi syarat. Maka orang yang sakit itu dalam posisi telentang dan kakinya membujur ke
arah kiblat. Namun akan jauh lebih baik bila badannya bisa sedikit dinaikkan dan bersender di
bantal, karena baik dada mau pun kaki sama-sama bisa menghadap kiblat. Umumnya ranjang di
rumah sakit bisa ditinggikan di bagian kepala, maka ranjang seperti ini tentu akan lebih baik lagi.
Adapun seseorang yang sakitnya amat parah sehingga tidak bisa lagi menggerakkan badan atau
menggeser posisinya agar menghadap ke kiblat, dan juga tidak ada yang membantunya untuk
menggeserkan posisi shalat menghadap ke kiblat, maka dia boleh menghadap ke arah mana
saja.
2. Orang Sakit Menjama’ Shalat Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan orang yang
sedang sakit untuk menjama’ shalatnya. Sebagian ulama tidak memperbolehkannya, namun
sebagian yang lain membolehkan adanya shalat jama’ bagi orang yang sedang sakit.
a. Tidak Boleh Dijama’ Mereka yang tidak membolehkan orang sakit untuk menjama’ shalat di
antaranya adalah mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi’iyah, serta sebagian dari ulama dari
mazhab Al-Malikiyah. Dasarnya karena sama sekali tidak ada dalil apa pun dari Rasulullah SAW
yang membolehkan hal itu. Dan selama tidak ada dalil, maka kita tidak boleh mengarang sendiri
sebuah aturan tentang shalat. Sehingga setiap orang yang sakit wajib menjalankan shalat sesuai
dengan waktu-waktu shalat yang telah ditetapkan, dan tidak ada istilah untuk dijama’. Jama'
Shuri Untuk itu jalan keluar yang bisa dilakukan adalah melakukan shalat dengan bentuk jama'
shuri.
b. Boleh Dijama’ Imam Ahmad bin Hanbal membolehkan jama' karena disebabkan sakit. Begitu
juga Imam Malik dan sebagian pengikut Asy-Syafi'iyyah. Sedangkan dalam kitab Al-Mughni
karya Ibnu Qudamah dari mazhab Al-Hanabilah menuliskan bahwa sakit adalah hal yang
membolehkan jama' shalat.
3. Tidak Boleh Mengqashar Meskipun ada pendapat yang membolehkan orang sakit menjama'
shalatnya, namun perlu digaris-bawahi bahwa qashar tetap tidak berlaku.
4. Mengganti Shalat Yang Terlewat
Apabila karena alasan sakit seseorang terpaksa harus meninggalkan shalat fardhu dari
waktunya, maka hukumnya secara syariah tidak berarti kewajiban shalat atasnya menjadi gugur.
Shalat fardhu lima waktu tetap menjadi kewajiban atasnya, hanya saja ketika sakit dan tidak
mampu dikerjakan, sementara tidak perlu dikerjakan. Misalnya ketika seorang pasien sedang
dioperasi yang membutuhkan waktu panjang, dan tidak mungkin shalat-shalat itu dijamak
sebelum atau sesudahnya. Maka apabila selama masa operasi kedokteran itu pasien harus
meninggalkan beberapa waktu shalat, ada kewajiban untuk mengganti shalatshalat itu begitu
nanti sudah mampu dilakukan.
5. Bolehkah Orang Sakit Jadi Imam? Para ulama sepakat orang sakit boleh shalat sambil duduk
atau berbaring, asalkan shalat sendiri atau jadi makmum. Sedangkan bila dia menjadi imam
dimana makmumnya mampu berdiri, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya dan
bagaimana dengan makmumnya. Sebagian mengatakan boleh dan sebagian mengatakan tidak
boleh. Secara resmi mazhab Al-Malikiyah dan AlHanabilah mengatakan tidak boleh. Imam yang
tidak mampu berdiri, ruku’ atau sujud, tidak diperkenankan menjadi imam bagi orang-orang yang
sehat dan mampu berdiri, ruku’ dan sujud. Pendapat ini juga didukung oleh Muhammad bin
Hasan AsySyaibani yang merupakan salah satu murid Al-Imam Abu Hanifah. Sedangkan yang
membolehkan bermakmum kepada imam yang duduk karena sakit adalah Mazhab Al-Hanafiyah
dan Asy-Syafi’iyah. Perbedaan di antara keduanya bahwa Mazhab AlHanafiyah mensyaratkan
imam harus bisa ruku’ dan sujud secara normal. Kalau ruku’ dan sujud secara normal itu pun
tidak bisa dilakukannya, maka hukumnya tidak boleh dijadikan imam.
Tidak tersedia versi lain